Rabu, 09 Februari 2011

Pancasila Aebagai Etika Politik

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah
PANCASILA






Disusun Oleh:
                             Achmad Ardiyanto                              (C04210011)
                             Masning Syarifah                     (C04210002)
                             Wiwik Saidatur Rolianah         (C04210025)

Dosen Pembimbing:
Arif Wijaya, SH, M.Humss

SYARIAH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010

BAB I
PENDAHULUAN
         Latar Belakang Masalah
Pancasila pada awal pertumbuhannya merupakan sebagai dasar filsafat negara hasil kesepakatan dan perenungan yang mendalam para tokoh-tokoh kenegaraan Indonesia, yang kemudian dihayati sebagai filsafat hidup bangsa. Pancasila sebagai filsafat hidup merupakan seperangkat prinsip pengarahan yang dijadikan dasar dan membeikan arah untuk dicapai dalam mengembangkan kehidupan nasiaonal atau pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya.
Dan dengan dasar pengarahan tersebut maka filsafat hidup bangsa dapat dihayati dan berkembang menjadi suatu ideologi nasional. Pancasila sebagai ideologi dalam pengembangannya harus didukung oleh penalaran kefilsafatan yang berlandaskan kodrat manusia supaya bersifat ilmiah-filsafat dan tetap juga bersifat manusiawi.
Adapun nilai-nilai yang terdapat dalam akan dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman hidup bagi kita. Norma-norma itu meliputi:
         Norma moral yaitu suatu sistem peraturan yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk.
         Norma hukum yaitu suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara kita negara indonesia.
Jadi sila-sila pancasila pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pedoman yang berlangsung bersifat normatif ataupun praktis melainkan merupakan sumber norma baik meliputi norma-norma maupun norma-norma hukum,yang pada gilirannya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral  maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.
         Rumusan Masalah
         Apa yang dimaksud dengan etika?
         Apa yang dimaksud dengan nilai, norma dan moral?
         Bagaimana hierarkhi nilai pancasila dan nilai-nilai pancasila itu sendiri?
         Ada berapa sistem norma?
         Bagaimana norma dalam masyarakat?
         Apa yang dimaksud dengan etika politik? 

         Tujuan Masalah
         Menjelaskan pengertian etika dan etika politik dalam pancasila
         Menjelaskan pengertian nilai, norma, dan moral
         Mengetahui hierarkhi nilai pancasila dan nilai-nilai pancasila itu sendiri
         Mengetahui sistem norma dan penerapannya dalam masyarakat





BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Etika
Sebagai usaha ilmiah filsafat pun dibagi kedalam beberapa cabang, terutama menurut bidang yang dibahas. Dua cabang utama filsafat adalah filsafat teoritis dan filsafat praktis. Yang pertama mempertanyakan apa yang ada, sedangkan yang kedua, bagaimana manusia harus bersikap terhadap apa yang ada itu. Jadi filsafat teoritis mempertanyakan apa itu manusia alam, apa hakikat realitas sebagai keseluruhan, apa itu pengetahuan, apa yang dapat kita ketahui tentang yang transenden (sesuatu yang jauh diatas hal-hal yang terdapat dalam pengalaman) dan sebagainya. Dalam hal ini filsafat teoritis pun mempunyai suatu maksud praktis karena pemahaman yang dicarinya diperlukan manusia untuk mengarahkan kehidupannya. Sedangkan filsafat yang langsung mempertanyakan praktis manusia adalah etika. Etika mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia.
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika sendiri merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkup kehidupannya.
Etika khusus terbagi menjadi 1.etika individual yang mempertanyakan tentang kewajiban manusia sebagai individu, terutama terhadap diri sendiri dan melalui suara hati, terhadap yang ilahi, dan etika sosia. 2.Etika sosial jauh lebih luas dari etika individual karena hampir semua kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan makhluk sosial. Dengan bertolak dari martabat manusia sebagai pribadi yang sosial, etika sosial membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antar manusia. Etika sosial memuat banyak etika yang khusus mengenai wilayah-wilayah kehidupan manusia tertentu. Di sini termasuk misalnya masalah pengguguran isi kandungan dan etika seksual, tetapi juga norma-norma moral yang berlaku dalam hubungan dengan satuan-satuan kemasyarakatan yang berlembaga seperti etika keluarga, etika pendidikaan, dan lain sebagainya.
Etika berkaitan dalam berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan prediket nilai “susila” dan  “tidak susila”,”baik” dan “buruk”. Sebenarnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia. Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubumgan dengan tingkah laku manusia.

B.     Pengertian Nilai, Norma dan Moral
1.Pengertian Nilai
Nilai sendiri berasal dari kata “value” dalam bahasa inggris yang artinya termasuk dalam kajian bidang filsafat. Dalam filsafat terdapat berbagai macam filsafat,dan diantara macam-macam tersebut nilai termasuk kedalam filsafat nilai. Istilah nilai sering dipakai dalam ilmu filsafat tersebut untuk menunjukkan benda-benda abstrak yang artinya “keberhargaan”(worth) atau” kebaikan” (goodness),dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian.
Di dalam Dictionary of Sociology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri. Dengan demikian nilai adalah suatu kenyatan yang “tersembunyi” dibalik kenyataan-kenyataan lain. Adanya nilai karena kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai (wartrager).
Ada yang mengatakan bahwa nilai adalah sesuatu yang dihargai dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Hal yang demikian tersebut akan menjadi ukuran, patokan, dan panutan bagi seluruh warga masyarakat agar diperoleh sesuatu yang dianggap pantas, luhur, mulia, benar, dan yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh setiap anggota masyarakat.
Berikut merupakan pengertian nilai yang dikemikakan para ahli, yaitu:
1.      Grenn, menyatakan bahwa nilai sebagai kesadaraan yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap objek, ide, dan orang perorangan.
2.      Young, menyatakan bahwa nilai sebagai asumsi-asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang benar dan apa yang penting.
3.      Woods, menyatakan bahwa nilai merupakan petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan suatu kebutuhan manusia yang digunakan untuk pedoman hidup tentang suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan dan suatu perbuatan yang seharusnya dihindari. Nilai itu bersifat universal, artinya sebuah nilai dianggap baik oleh sebagian besar masyarakat. Misalnya menolong orang lain merupakan sebuah nilai yang dianggap baik dan dijunjung tinggi oleh seluruh masyarakat.
Menilai berarti menimbang,dan dalam kata menimbang terdapat arti sendiri yaitu suatu kegiatan manusia untuk menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain ,kemudian hal yang akan dilakukan yaitu memilih salah satu dari pada sesuatu tersebut. Dan keputusan nilai yang dilakukan oleh subjek penilai tentu berhubungan pada unsur-unsur yang ada pada manusia. Sesuatu itu dikatakan bernilai jikalau seseorng itu menganggap sesuatu itu sangat berharga,berguna,bermanfaat bagi kehidupannya dan lain sebagainya.
Didalam nilai juga terdapat cia-cita,harapan dan keharusan. Maka apabila hal tersebut itu dibicarakan diantara kita sesama manusia pasti kita akan berbicara tentang hal yang sangat ideal yang tanpa kita sadari.

            A.Hierarkhi Nilai
Terdapat berbagai macam pendapat dan pandangan tentang nilai hal ini tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang pengertian serta hierarkhi nilai. Banyak usaha yang menggolongkan nilai tersebut dan penggolongan tersebut sangat beranekaragam,tergantung pada sudut pandang dan cara penggolongan tersebut.
Max Sceler bependapat bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama luhurnya dan sama tingginya,dan menurut tinggi rendahnya terbagi menjadi empat tingkatan,yaitu:
         Nilai-nilai kenikmatan
         Nilai-nilai kehidupan
         Nilai-nilai kejiwaan
         Nilai-nilai kerohanian
Walter G. Everst menggolongkan nilai-nilai menjadi delapan golongan,yaitu:
         Nilai-nilai ekonomis
         Nilai-nilai kejasmanian
         Nilai-nilai hiburan
         Nilai-nilai sosial
         Nilai-nilai watak
         Nilai-nilai astetis
         Nilai-nilai intelektual
         Nilai-nilai keagamaan
Notonegoro membagi nilai menjadi tiga golongan,yaitu:
         Nilai material
         Nilai vital
         Nilai kerokhanian,sedangkan nilai kerokhanian terbagi lagi menjadi empat macam,yaitu:
         Nilai kebenaran
         Nilai keindahan
         Nilai kebaikan
         Nilai religius
Dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan.
Dari uraian diatas,bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya barang yang berwujud material,tetapi sesuatu yang berwujud non-material atau imaterial. Sesuatu yang immaterial itu dapat mengandung nilai yang sangat tinggi bagi manusia itu sendiri. Nilai-nilai material relatif mudah diukur dengan menggunakan alat indera maupun alat pengukur. Sedangkan nilai kerokhanian yang menjadi alat ukurnya adalah hati nurani manusia yang di bantu oleh indera kita sendiri.
Notonegoro berpendapat: bahwa nilai-nilai pancasila itu tergolong nilai-nilai kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai yang tergantung pada nilai-nilai tersebut,yang dimulai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar,sampai dengan sila Keadilan Sosoal Bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai tujuan.
Selain nilai-nilai yang dikemukakan diatas, ada sekelompok nilai yang melilit kedudukan yang lebih tinggi dari pada nilai-nilai lainnya ada yang lebih rendah dan ada juga yang lebih mutlak. Namun hal ini juga tergantung pada filsafat masyarakat atau bangsa sebagai subjek pendukung nilai-nilai tersebut.
      B.Nilai-Nilai Pancasila
Pandangan hidup suatu bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan kesedihan untuk mewujudkan dalam tindakan, sikap, prilaku hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagi bangsa Indonesia tidak dapat tidak kristalisasi nilai-nilai tersebut adalah yang terdapat dalam pancasila, dimana sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan nilai inti dan nilai sumber, masing-masing saling menjiwai dan meliputi, yang akan memberikan landasan bagi:
1.      Nilai dasar kemanusiaan sebagai tolok ukur (nilai kriteria),
2.      Berlaku umum dan menyeluruh bagi nilai-nilai,
3.      Menjadi landasan kepercayaan pandangan hidup dan sikap serta prilaku.
      Nilai ketuhanan yang merupakan nilai inti dan nilai sumber sebagai kriteria dapat memberikan upaya dan usaha manusia dalam:
a.       Investasi Nilai
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa mengandung nilai-nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai-nilai keadilan. Disamping itu terdapat pula nilai ideal, nilai material, nilai spiritual, nilai pragmatasi dan nilai-nilai positif. Lebih lanjut kita jumpai pula nilai logis, nilai estetis, nilai etis, nilai sosial dan nilai religius.
b.      Filter Tindakan Manusia
Dalam dunia yang semakin maju dan berkembang, ditandai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibat kemajuan komunikasi, informasi dan transportasi hampir dapat dikatakan tidak terdapat batas-batas wilayah lagi sebagai akibat arus informasi tersebut. Arus informasi ini, baik dari dalam maupun dari luar tidak mungkin terkendali, karena perubahan-perubahan tersebut. Oleh sebab itu, perlu ada semacam jaringan nilai-nilai untuk menyaring nilai-nilai yang tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa. Keadaan seperti apa yang disebut dengan era globalisasi, keterbukaan atau transportasi, akan melanda kehidupan masyarakat di mana pun.
c.       Memberikan Kendali Kepada Manusia
Mengendalikan diri untuk mewujudkan keseimbangan, keserasaian dan keselarasan dalam hidup, perilaku dan tingkah laku dalam kehidupan bermasayrakat, berbangsa, dan bernegara. Masyarakat itu sementara berubah (dinamis), yang kita cari bukan dinamikanya, akan tetapi keseimbangan, keselarasan dan keserasian untuk mencapai kebahagiaan.
d.      Sebagai Pengarah (Orientasi) pada Manusia
Ia memberikan kekuatan kehidupan dan membimbing kearah yang lebih baik.
e.       Sebagai Pendorong (Motivasi) bagi Manusia
Memberikan semangat dan dorongan yang lebih kreatif, positif sehingga akan lebih berdayaguna dan berhasilguna, efisien dan efektif.
Atas pandangan tentang nilai-nilai dan nilai sumber tersebut didepan, maka akan diharapkan manusia yang bertakwa, memperlakukan manusia secara manusiawi atau insani, kekeluargaan, keseimbangan, keselarasan dan keserasian.
Manusia yang bertakwa adalah insani yang bermoral tinggi, teguh pendirian, cerdas dan terampil, berbudi pekerti, berkepribadian kuat, serta mampu membangun dirinya. Memperlakukan manusia secara insani dalam arti memandang manusia yang sesuai dengan hakikat dan kodrat serta martabatnya.
Dalam pandangan hidup suatu bangsa terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh bangsa itu, terkandung pikiran-pikiran yang terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang lebih baik.
Penilaian (menilai) yaitu kegiatan manusia dalam menimbang, mengukur, menakar, menyukat sesuatu untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan itu dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, indah atau tidak indah, baik atau tidak baik, religius atau tidak religius. Ini semua dikatakan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia, yaitu jasmani dan rohani, cipta karsa dan rasa serta kepercayaan. Dikatakan mempunyai nilai apabila baik (nilai, moral, dan etis), indah atau tidak indah (estetis), baik atau buruk, nilai religius (nilai keagamaan).
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara mengandung nilai-nilai:
a)      Nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan.
b)      Nilai ideal, nilai material, nilai spiritual, nilai pragmatis dan nilai positif.
c)      Nilai etis, nilai estetis, nilai logis, nilai sosial dan nilai religius.
           Nilai yang terkandung tersebut pada kenyataannya dapat berlaku umum (universal) tanpa ada batas-batas tertentu, sebaliknya nilai-nilai khusus yang terkandung didalamnya juga hanya untuk bangsa (Indonesia).
Mengenai dalam kaitannya dengan penjabarannya maka nilai-nilai terbagi menjadi tiga  macam yaitu nilai dasar, nilai instrumen, nilai praktis.
         Nilai Dasar
Setiap nilai memiliki nilai dasar (dalam bahasa ilmiah disebut dasar onotolagis) yaitu merupakan hakikat, esensi, atau makna terdalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai dasar ini memiliki sifat objektif segala sesuatu. Demikianlah nilai dasar disebut sebagai sumber norma yang pada gilirannya dapat dijabarkan dalam suatu kehidupan bersifat praktis.
         Nilai Instrumental
Nilai instrmental ini merupakan suatu dasar atau pedoman yang dapat diukur dan diarahkan. Bilamana  nilai instrumental ini tersebut berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka hal itu termasuk suatu norma moral. Namun jikalau nilai instrumental itu berkaitan dengan sesuatu organisasi ataupun negara maka nilai-nilai intrumental tersebut merupakan suatu arahan, kebijaksanaan atau strategi yang bersumber pada nilai dasar.
         Nilai Praksis
Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam suatu kehidupan yang nyata sehingga nilai praksis ini merupakan perwujudan dari nilai-nilai instrumental.
2. Pengertian Norma
Norma berasal dari bahasa latin, atau kaidah dalam bahasa Arab, dan juga disebut dengan pedoman, patokan dan aturan dalam bahasa Indonesia, mula-mula diartikan dengan penyikut atau siku-siku yaitu garis tegak lurus yang menjadi ukuran atau patokan untuk membentuk suatu sudut atau garis yang dikehendaki. Dalam perkembangannya, norma itu diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat. Jadi, inti suatu norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi.
Suatu norma itu baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma itu pada dasarnya mengatur tata cara bertingkah laku seseorang terhadap orang lain, atau terhadap lingkungannya. Setiap norma itu mengandung suruhan-suruhan yang didalam bahasa asingnya sering disebut dengan das sollen (ought to be/ought to do) yang didalam bahasa Indonesia sering dirumuskan dengan istilah hendaknya. (contoh hendaknya engkau menghormati orang tua.)
Jadi norma adalah suatu pedoman yang menjadi arah agar para anggota masyarakat dapat berperilaku sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Karena norma adalah pedoman dalam berperilaku, maka diperlukan adanya sanksi bagi individu yang melanggar norma, sehingga individu dapat menyesuaikan diri dan perilakunya dengan norma. Sanksi juga merupakan bentuk penyadaran kepada orang yang melanggar norma bahwa perbuatannya tersebut tidak sesuai norma dan harus dilakukan perbaikan perilaku dengan segera.
Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya, sedangkan norma-norma moral, adat, agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Fakta-fakta kebiasaan yang terjadi mengenai sesuatu yang baik dan buruk, yang berulang kali terjadi, sehingga ini selalu sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat tersebut, berbeda dengan norma-norma hukum negara yang kadang-kadang tidak selalu sesuai dengan rasa keadilan/pendapat masyarakat.
A.Statiska dan Dinamika Sistem Norma
Di dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law and State, Han Kelsen mengemukakan adanya dua sistem norma, yaitu sistem norma yang statik (nomostatics) dan sistem norma yang dinamik (nomodynamics). Statika sistem norma (nomostatics) adalah suatu sistem yang melihat pada ‘isi’ suatu norma, di mana suatu norma umum dapat ditarik menjadi norma-norma khusus, atau norma-norma khusus itu dapat ditarik dari suatu norma yang umum. Penarikan norma-norma khusus dari suatu norma umum, dalam arti norma umum itu dirinci menjadi norma-norma yang khusus dari segi ‘isi’nya. Contoh dari suatu sistem norma yang statik (nomostatics) adalah sebagai berikut.
-Dari suatu norma umum yang menyatakan ‘Hendaknya engkau menghormati orang tua’ dapat ditarik/dirinci norma-norma khusus, seperti kita wajib membantunya kalau orang tua itu dalam keadaan susah, kita merawatnya kalau orang tua itu sedang sakit, dan sebagainya.
-Dari suatu norma umum yang menyatakan ‘Hendaknya engkau menjalankan perintah agama’ dapat ditarik/dirinci norma-norma khusus seperti kita harus menjalankan sholat lima waktu, menjalankan puasa pada waktunya, membayar zakat fitrah, dan sebagainya.
Sistem norma yang dinamik (nomodynamics) adalah suatu sistem norma yang melihat pada berlakunya suatu norma atau dari cara pembentukannya dan penghapusannya. Menurut Han Kelsen, norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarkis, di mana norma yang di bawah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yamg lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya.
B.Berbagai Norma Dalam Masyarakat
Di dalam kehidupan masyarakat, selalu terdapat berbagai macam norma yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tata cara kita berprilaku atau bertindak. Di negara kita, norma-norma yang masih sangat dirasakan adalah norma-norma adat, norma-norma agama, norma-norma moral, dan norma-norma hukum negara. Oleh karena negara kita terdiri atas berbagai-bagai pulau dan suku bangsa, serta ada kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah agamanya dan kepercayaannya, maka norma-norma moral, norma-norma adat, dan norma-norma agama yang ada dan berlaku juga berbeda-beda satu dengan lainnya. Akan tetapi, berlakunya suatu norma hukum negara bersifat mutlak, dalam arti bahwa setiap norma hukum negara berlaku bagi seluruh masyarakat yang berada di negara kita sehingga dikatakan bahwa norma-norma adat, norma-norma agama, norma-norma moral memiliki perbedaan-perbedaan dengan norma-norma hukum negara. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat kita lihat, misalnya, dalam norma hukum adat di Indonesia, maka norma-norma adat itu berlaku sesuai dengan yang berlaku dalam masyarakat adatnya. Umpamanya dalam hal kewarisan bagi masyarakat didaerah Tapanuli dianut sistem garis keturunan Bapak (patrilineal), di daerah Minangkabau dianut sistem garis keturunan Ibu (matrilineal), dan di Jawa dianut sistem garis keturunan Bapak dan Ibu (parental), sedangkan bila suatu norma hukum negara menentukan bahwa setiap warga negara wajib membayar pajak, maka norma hukum ini berlaku bagi seluruh warga negara di mana pun ia berada.
 3.Pengertian Moral
Moral berasal dari bahasa latin yakni mores kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa indonesia moral diartikan dengan susila. Moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan susila, mana yang baik dan mana yang wajar. Menurut istilah, Paul W.Taylor berpendapat bahwa moralitas atau “Morality is a set of social rules and standards that guide the conduct of people in a culture”. (Moralitas adalah satu set peraturan dan standar sosial yang mengatur tingkah laku orang-orang di dalam satu kebudayaan). Moralitas adalah satu aspek dari keseluruhan aspek-aspek hidupnya kebudayaan tertentu dan menduduki satu kepentingan khusus pada setiap orang. Moralitas seseorang meliputi kepercayaan-kepercayaan moralnya, mengenai sesuatu yang dianggap baik dan buruk, standar-standar yang ia pakai dalam memutuskan alasan-alasan perilaku dan peraturan-peraturan dengan yang mana ia mencoba membimbing hidupnya. Sewaktu ia lalai untuk berbuat sesuai dengan nilai-nilai moralnya, maka ia akan merasa salah dan menyesal sekali. Dia menganggap dirinya bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sebagaimana dia menganggap orang lain juga harus bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan mereka. 
         Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Sebagai mana yang dijelaskan diatas bahwa nilai adalah kwalitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia,baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari maupun tidak.
Agar nilai tersebut menjadi nilai yang berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, malah perlu dikongkritkan lagi serta diformalisakan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkan dalam tigkah laku secara konkrit. Maka wujud yang lebih konkrit dari nilai tersebut norma hukumlah yang paling kuat keberlakuannya, karena dapat dipaksakan oleh sesuatu kekuasaan eksternal misalnya penguasa atau penegak hukum.
3.Etika politik
Pengelompokan etika sebagaimana dibedakan dimuka, dibedakan atas etika umum dan etika khusus. Etika umum membahas prinsip-prinsip dasar bagi segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip dalam hubungannya dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkup kehidupannya.
Etika khusus dibedakan menjadi pertama : etika individual yang membahas tentang kewajiban yang membahas tentang kewajiban manusia sebagai individual terhadap dirinya sendiri, serta melalui suara hati terhadap Tuhannya. Kedua etika sosial membahas tentang kewajiban serta norma-norma moral yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan dengan sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara.
Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkaitan dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjukkan kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban manusia sebagai manusia.
         Pengertian Politik
Pengertiaan politik berasal dari kata `politics` yang memiliki sifat bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara, yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dan sistem itu dengan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan atau `decisionmaking` mengenai apakah yang menjadi tujuan dan sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa altenatif dan penyusunan skala prioritas dari yang tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.
Jikalau dipahami berdasarkan pengertian politik secara sempit sebagaimana diuraikan diatas maka seola-olah bidang politik malah banyak berkaitan dengan para pelaksana pemerintah negara lembaga-lembaga tinggi negara kalangan aktifis politik serta kemungkinan akan terjadi ketimpangan dalam aktualisasi berpolitik, karena tidak melibatkan aspek rakyat baik sebagai individu maupun sebagai suatu lembaga baru yang terletak dalam suatu masyarakat.
Oleh karena itu,dalam hubungannya dengan etika politik pengertian politik tersebut harus dipahami dalam pengertian luas yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara.
         Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Dalam kerangka dimensi-dimensi kesosialan manusia itu dimensi politis mencakup    lingkaran kelembagaan hukum dan negara dan sistem-sistem nilai dan ideologi-ideologi yang memberikan legitimasi kepadanya.
Dimensi politis manusia adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi yang menjadi ciri khas suatu pendekatan yang disebut “politis” adalah bahwa pendekatan itu terjadi dalam kerangka acuan yang berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai dimensi dimana manusia menyadari diri sebagai anggota masyarakat sebagai keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindak-tanduknya.
Untuk menata kehidupan masyarakat itu ada dua penataan, yaitu:  
1.pendekatan normatif  adalah hukum yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum terdiri dai norma-norma bagi kelakuan betul dan salah dalam masyarakat.
2.pendekatan efektif adalah hukum yang menjamin agar orang taat kepada norma-normanya. Yang dapat secara efektif menentukan kelakuan masyarakat hanyalah lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya. Lembaga itu adalah negara dan penataan efektif masyarakat adalah penataan yang de facto, dalm kenyataan, menentukan kelakuan masyarakat.
Jadi hukum sebagai lembaga piñata masyarakat yang normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampun manusia. “Hukum tanpa negara tidak dapat berbuat apa-apa, sifatnya normatif belaka, hukum tidak mempunyai suatu kemampuan untuk bertindak. Sedangkan negara tanpa hukum adalah buta dan merosot ketingkat sub-manusiawi karena tidak berdasarkan tatanan normatif.                                                                                                         

         Manusia Sebagai Mahluk Individu-Sosial
Berbagai paham antropologi filsafat memandang hakikat sifat kodrat manusia, dari kacamata yang berbeda-beda. Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandang manusia sebagai makhluk individu yang bebas. Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa dan negara dasar ontologis ini merupakan dasar moral politik negara. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama diukur dengan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu.
Berdasarkan fakta yang ada dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan sendiri, jikalau mendasarkan pada sifat kodrat manusia hanya bersifat individu atau sosial saja. Manusia merupakan makhluk yang bebas, namun untuk menjamin kebebasannya manusia itu sendiri memerlukan orang lain atau masyarakat. Oleh karena itu
         Dimensi Politis kehidupan manusia
Dalam kehidupan manusia secara alamiah, jaminan atas kebebasan manusia baik sebagai individu maupun makhluk sosial sulit untuk dapat dilaksanakan, karena terjadinya perbenturan kepentingan di antara mereka sehingga terdapat suatu kemungkinan terjadinya anarkhisme dalam masyarakat. Dalam hubungan inilah manusia memerlukan suatu masyarakat hukum yang mampu menjamin hak-haknya, dan masyarakat itulah yang disebut negara. Oleh karena itu berdsarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, dimensi politik mencakup lingkaran kelembagaan hukum dan negara, sistem-sistem nilai serta ideologi yang memberikan legitimasi kepadanya.
Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, dimensi politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan Negara  dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu pendekatan etika politik senantiasa berkaitan dengan sikap-sikap moral dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis manakalah diambil dengan memperhatikan kepantingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran manusia akan dirinya sendiri sebagai anggotaa masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh kerangka kehidupannya serta ditentukan kembali oleh tindakan-tindakannya.
Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundamental, yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak, sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakan moral manusia. Manusia mengerti danmemahami akan suatu kejadian atau akibat yang ditimbulkan karena tindakannya, akan tetapi hal ini dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap orang lain. Akan tetapi sering dijumpai karena keterbatasan pengertian atau bahkan kesadaran akan tanggung jawab terhadap manusia lain dan masyarakat, maka tindakan pelanggaran moral akan dilakukan sehingga berakibat kepada kerugian manusia lain. Aspek kemampuan untuk melakukan secara moral sangat tergantung kepada akal budi manusia.
Jikalu pada tingkatan moralitas dalam kehidupan manusia sudah tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapi hak orang lain dalam masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif. Lembaga penata normatif masyarakat adalah hukum. Dalam suatu kehidupan masyarakat hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum terdiri atas norma-norma bagi kelakuan yang betul dan salah dalam masyarakat. Hukum hanya bersifat normatif, dan tidak secara efektif dan otomatis mampu menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada norma-normanya. Oleh karena itu yang secara efektif dapat menentukan kelakuaan masyarakat hanyalah lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lembaga itu adalah negara. Penataan efektif masyarakat adalah penataan yang de fakto yaitu penataan yang berdasarkan kenyataan menentukan kelakuan masyarakat. Namun perlu dipahami bahwa negara yang memiliki kekuasaan itu adalah sebagai perwujudan sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial, jadi lembaga negara yang memiliki kekuasaan adalah lembaga negara sebagai kehendak untuk hidup bersama.
Dengan demikian hukum dan kekuasaan negara merupakan aspek yang berkaitan langsung dengan etika politik. Hukum sebagai penataan mereka secara normatif, serta kekuasaan negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif pada hakikatnya sesuai dengan struktur sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Hukum tanpa kekuasaan negara akan merupakan aturan normatif yang kosong, sedangkan negara tanpa hukum akan merosot menjadi kehidupan yang berada dibawah sifat manusiawi karena akan berkembang menjadi ambisi kebinantangan, karena tanpa tatanan normatif. Negara berbuat tanpa tatanan hukum akan sama halnya dengan kekuasaan tanpa pembatasan, sehingga akan terjadi penindasan manusia, yang lazimnya disebut negara otoriterianisme.
Oleh karena itu baik hukum maupun negara keduanya memerlukan suatu legitimasi. Hukum harus mampu menunjukan bahwa tatanan adalah dari masyarakat bersama dan demi kesejahteraan bersama, dan bukannya berasal dari kekuasaan. Demikian pula negara yang memiliki kekuasaan harus mendasarkan pada tatanan normatif sebagai kehendak bersama semua warganya, sehingga dengan demikian negara pada hakikatnya mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang menentukan tatanan hukum tersebut.
Maka etika politik berkaitan dengan objek forma etika, yaitu tinjauan berdasarkan prinsip-prinsip dasar etika, terhadap objek material politik yang meliputi legitimasi negara, hukum, kekuasaan serta penilaian kritis terhadap legitimasi-legitimasi tersebut.

         Nilai-nilai pancasila sebagai sumber etika politik
Sebagai dasar filsafat negara pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sila pertama ‘Ketuhanaan yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Negara Indonesia yang berdasarkan sila 1 ‘Ketuhanaan yang Maha Esa’ bukanlah negara ‘Teokrasi’ yang mendasarkan kekuasaan Negara dan penyelenggara negara pada legitimasi religious, melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi demokrasi. Oleh karena itu asas sila ‘Ketuhanaan yang Maha Esa’ lebih berkaitan dengan legitimasi moral. Hal inilah yang membedakan negara yang Berketuhanan yang Maha Esa dengan negara teokrasi. Walaupun dalam negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimasi relligius, namun secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan negara.
Selain sila I, sila II ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ juga merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan negara. Negara pada prinsipnya adalah merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama dalam suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip-prinsip hidup demi kesejahteraan bersama (sila III). Oleh karena itu manusia pada hakikatnya merupakan asas yang bersifat fundamental dalam kehidupan negara. Manusia adalah merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan penyelengaraan negara. Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalamkehidupan negara dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mendapatkan jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak dasar (asasi) manusia. Selain itu asas kemanusiaaan juga harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.
Dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negeri dijalankan sesuai dengan (1) asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, (2) disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis), dan (3) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara, baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral religious (sila I) serta moral kemanusiaan (sila II). Hal ini ditegaskan oleh Hatta tatkala mendirikan negara, bahwa negara harus berdasarkan moral Ketuhanan dan moral Kemanusiaan agar tidak terjerumus kedalam machtsstaats, atau negara kekuasaan.
Selain itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip ‘legalitas’. Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu ‘keadilan’ dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam sila V, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku. Pelanggaran atas prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidak seimbangan dalam kehidupan negara.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila IV). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Maka dalam pelaksanaan politik praktis hal-hal yang menyangkut kekuasaan eksekutif, legislative serta yudikatif, konsep pengambilan keputusan, pengawsan serta partisipasi harus berdasarkan   legitimasi dari rakyat, atau dengan lain perkataan harus memiliki ‘legitimasi demokrtis’.
Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam realisasi praksis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara korelatif diantara ketiganya. Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negara maupun luar negeri, ekonomi baik nasional maupun global, yang menyangkut rakyat, dan lainnya selain berdasarkan hukum yang berlaku (legistimasi hukum) , harus mendapat legistimasi rakyat (legistimasi demokratis), dan juga harus berdasarkan prinsip moralitas (legistimasi moral), misalnya kebijaksanaan harga BBM, Tarif dasar Listrik, Tarif Telepon, kebijaksanaan ekonomi mikro ataupun makro, reformasi infra struktur politik serta kebijaksanaan politik dalam maupun luar negeri harus didasarkan atas tiga prinsip tersebut.
Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para pejabat negara, anggota DPR maupun MPR aparat pelaksana dan penegak hukum, harus menyadari bahwa selain legistimasi hukum dan legistimasi demokratis juga berdasar pada legistimasi moral. Misalnya suatu kebijakan itu sesuai dengan hukum yang belum tentu sesuai dengan moral. Misalnya gaji para pejabat dan anggota DPR,MPR itu sesuai dengan hukum, namun mengingat kondisi rakyat yang sangaat menderita belum tentu layak secara moral (legistimasi moral).















BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Ø  Etika  merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral dan suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.
Ø  Nilai merupakan suatu kebutuhan manusia yang digunakan untuk pedoman hidup tentang suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan dan suatu perbuatan yang seharusnya dihindari. Nilai itu bersifat universal, artinya sebuah nilai dianggap baik oleh sebagian besar masyarakat.
ü  Yang mengandung nilai itu bukan hanya barang  yang berwujud material,tetapi sesuatu yang berwujud non-material atau imaterial. Sesuatu yang immaterial itu dapat mengandung nilai yang sangat tinggi bagi manusia itu sendiri. Nilai-nilai material relatif mudah diukur dengan menggunakan alat indera maupun alat pengukur. Sedangkan nilai kerokhanian yang menjadi alat ukurnya adalah hati nurani manusia yang di bantu oleh indera kita sendiri.
ü  Nilai pancasila adalah nilai yang diyakini kebenarannya dan kesedihan untuk mewujudkan dalam tindakan, sikap, prilaku hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia karena setiap nilai saling menjiwai dan meliputi satu sama lain, dimana sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan nilai inti dan nilai sumber.
Ø  Norma adalah suatu pedoman yang menjadi arah agar para anggota masyarakat dapat berperilaku sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Karena norma adalah pedoman dalam berperilaku, maka diperlukan adanya sanksi bagi individu yang melanggar norma, sehingga individu dapat menyesuaikan diri dan perilakunya dengan norma.
ü  Han Kelsen mengemukakan adanya dua sistem norma, yaitu sistem norma yang statik (nomostatics) dan sistem norma yang dinamik (nomodynamics).
ü  Di dalam kehidupan masyarakat, selalu terdapat berbagai macam norma yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tata cara kita berprilaku atau bertindak. Di negara kita, norma-norma yang masih sangat dirasakan adalah norma-norma adat, norma-norma agama, norma-norma moral, dan norma-norma hukum negara.
Ø  Etika politik adalah pandangan moral mengenai kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara, yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dan sistem itu dengan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar