Rabu, 09 Februari 2011

REFRENSI

Nama : Masning Syarifah
NIM: C04210002
Kls : ES (A)
Namun, pandangan semacam itu kini terdengar asing bagi pemikiran modern. Dalam kenyataan, Peradaban modern adalah peradaban besar pertama dalam sejarah yang menolak sama sekali keberadaan struktur hierarkis ini.struktur hierarkis realistas ini digantikan konsepsi realitas datar,tersusun dari materi belaka. Jelas, realitas material ini memang paling cocok diselidiki melalui sains, berkuasalah filsafat resmi yang dominan dalam peradaban barat modern: material isme sainstifik. Sementara itu di Timur yang juga tak kebal dari modernisitas barat situasinya tak jauh berbeda. Bagi kalangan yang menerima doktrin agama sekalipun. Meski konsepsi hierarkis ini bisa saja diterima sebagai satu gagasan, relitas hierarkis ini nyaris tak terjamah dan tak tereksplorasi, tak teraktualisasi, bahkan dalam kehidupan aktual keberagamannya sehari-hari. Bukan kita tak mau menerima gagasan adanya alam yang lebih tinggi, hanya saja kita nyaris lupa bagaimana cara dan rasanya hidup di alam semesta hierarkis semacam itu, yang kita tahu setiap hari kita hidup di alam material, alam kehidupan sehari-hari. Kini memang marak acara alam roh di layar kaca, namun dunia lain itu sebenarnaya sekedar alam natural yang eksotis hanya karena tak bisa kita lihat, dan akhirnya juga diempirisasi (melalui kamera, infra merah, mikrofon dan lain-lain) dan disantifikasi (melalui konsep energi, medan dan lain-lain)untuk sekedar ditonton lagi-lagi konsepsi realitas yang datar.
Banyak kritik, terutama yang bersentimen agama, meratapi harapan runtuhnya struktur hierarkias ini, menyalakan kolesterol jahat yang inheren dalam moderinitas dari paradigma Newtonian Cartesian hingga dominasi patriarki; dari komodifikasi kapitalistik atas nilai-nilai kehidupan hingga agresi maskulinitas; dari kemakmuran material berlebihan hingga keserakahan umat manusia. Semua tusuhan ini ada benarnya, meski tak satupun yang persis mengidentifikasi inti persoalannya. Terkesan modernitas merusak tatanan harmonis pramodern. Kesan ini pun tak sama namun kita juga tahu modernitas menciptakan banyak hal positive yang tak dijumpai di era pramodern: selain kemajuan sains/teknologi dalam bidang fisika, kimia , biologi, kedokteran, dan lain-lain, juga idealisme untuk memperjuangkan keadilan, kebebasan, kesetaraan-tanpa mempersoalkan ras, kelas, gender, agama-upaya mengakhiri perbudakan, perhatian terhadap hak perempuan, hak-hak asasi manusia, sisten demokrasi serta hukum tata negara, dan lain-lain. (beberapa pihak mungkin membantah hal ini, terutama karena agama pramodern juga mengajarkan pedoman moral yang sama tentang keadilan, kebebasan, kesetaraan, justru dimasa modern tampaknya moralitas diabaikan. Disini harus dibedakan antara `ideal` atau `teori` dengan `praktik`. Disisi praktik, lebih bermoral mana: pramodern atau modern, tentu relatif. Namun disisi ideal, baru di era modern muncul ikhtiar untuk mengelaborasi berbagai teori moral secara independen).  Jadi, barangkali persoalannya bukan apakah mederanitas itu baik/buruk, karena moderinitas sekedar menjadi dirinya sendiri. Justru, agaknya, keyakinan pramodern itu sendirilah-dalan bentukl formal tradisionalnya-yang tak mampu menandingi keniscayaan modernitas. Maka, persoalan krusial kedua dalam upaya intregasi sains-agama-selain, pertama, mengklarifikasi esensi `sains` dan `agama`-adalah juga mengklarifikasi esensi `pramodernitas` (habitat asli agama) dan `modernitas`(habitat asli sains)
Nah, jika esensi pramoderinitas identik dengan `keyakinan akan adanya sruktur hierarkis realitas`, maka esensi moderinitas identik dengan apa? Jika moderinitas boleh dipadakan dalam sebuah frase, agaknya banyak pakar-dari Max Weber hingga Jurgen Habermas-bakal menyebutkan sebagai `diferensiasi ranah nilai kultural`,yang secara khusus artinya diferensiasi antara ranah nilai seni, moral dan sains. Jadi, moderinitas ditandai ketika aspek-aspek kultural yang sebelumnya tak terbedakan ini, mulai terdiferensiasi kedalam ranah-ranah nilai kultural yang berbeda. Tentu, di zaman pra modern sudah ada seni, moral, dan sains, namun ketiganya cenderung tak terdeferensiasi, sehingga bertumpang-tindih dan kinkan masing-masing ranah ini saling mencampuri satu dengan yang lain. (Di Abad Pertengahan, Galileo tak bebas melakukan penelitiannya, karena sains, seni, dan moral, semuanya jadi satu dalam pengaruh Gereja, sehingga nilai moral Gereja bisa mengatur apa yang boleh/tidak dilakukan sains. Jika tafsir Bibel I terdiferensiasi, sehingga mengupayakan ikhtiarnya sendiri, dengan lajunya sendiri, berkembang dengan tujuan metodenya sendiri, mengikuti arah temuannya sendiri, tanpa ikut dicampuri ranah lainnya. (Galilio bebas meneliti tanpa takut dituduh bida. Seniman bisa melukis apapun tanpa mesti mengikuti aturan agama. Teori moral bebas mengelaborasi nilai-nilai tentang bagaimana menata kehidupan individu dan masyarakat yang baik, tak bergantung pada kitab suci, dan lain-lain.)
Disini, kritik terhadap sains modern, dan moderinitas pada umumnya, sering salah arah, menganggap diferensiasi ini sebagai sumber dari segala persoalan moderenitas ini. Harus disadari, diferensiasi ini adalah keniscayaan bukan kemuduran. Seperti dalam proses evolusi sel yang membelah diri, terdiferensiasi menjadi bagian yang berbeda, sebagai keniscayaan dari proses pertumbuhan dan perkembangannya-menjadi semakin kompleks, semakin dalam, semakin solid, semakin terintregasi. Nah, yang jadi soal deferensiasi ini ekses menjadi keterpisahan sama sekali, disosiasi, fragmentasi, alienasi. Seperti sel mengalami ekses menjadi kanker seiring terpisahnya ranah-ranah niali kultural ini, ranah sains yang semakin kuat dan agresif mulai menginvasi dan mendominasi kedua ranah lainnya, menyigkirkan seni dan moral dari setiap upaya serius untuk menghampiri realitas. Dan disini, sains menjadi saintisme-matearialisme saintifik plus imperialisme saintifik
Saintisme menolak dua ranah lainnya, karena dianggap tak ilmiah, tak nyata, dan karenanya tak perlu. Maka, saintisme menganggap struktur hierarkis realitas itu tidak ada. Menurut materialisme saintifik, struktur hierarkis realitas-dari materi, tubuh, pikiran, jiwa, hingga roh-bisa sepenuhnya diprediksi kedalam struktur meteri. Dan materi-dalam otak maupun sistem/proses material lain-akan menjelaskan seluruh realitas tanpa sisa jadi, materialisme saintifik bukan sekadar menolak dimensi spiritual/agama perse, namun keseluruhan dimensi interior. Maka, ketika seluruh dimensi interior ini mulai runtuh seiring modernitas, relasi sains-agama mulai tampak problematis. Tentu relasi ini bukan sekadar konflik, seperti terkesan diawal tadi. Ian Barbour-nama otoritatif dalam wacana akademis relasi sains-agama-memetakan empat tipe relasi yang berkembang, selain konflik, juga ada independensi, dialog, dan intregasi. Tulisan pengantar ini tadi memang diawali dengan memberi kesan seoalh relasi sains-agama hanya konflik, disamping karena hendak menekankan urgensi dan signifikansi wacana ini, juga karena pad akhirnya yang diperebutkan adalah satu terotori yang sama: setidaknya keyakinan personal, yakni, sama sekali tidak percaya agama, atau percaya meskipun dengan catatan. (selain tentu karena relasi konflik ini paling menarik minat khalayak dan sorotan media).
Konflik sains-agama yang biasa, sains menolak kebenaran agama-adalah posisi resmi moderinitas. Meski banyak variasinya (Contoh, Freud, Marx, Russell, dan lain-lain), tapi bisa dipadatkan: agama itu halusinasi bawaan masa kanak-kanak serupa dengan nina bobo; menggemaskan pada kanak-kanak, mematikan pada orang dewasa; dan keberlangsungannya hingga dewadsa adalah indikasi patologis gangguan kejiwaan, kurang jernih logika, atau kepalsuan ekstisensia; Tuhan tak ada karena setiap yang nyata mesti terdaftar dalam sains, dan sejauh ini tak ada mikroskop atau teleskop yang pernah menangkap Tuhan. Konflik sains-agama yang lain, agama menolak kebenaran sains- sebetulnya adalah efek samping modernitas juga, terutama dikalangan fundamentalis, karena agama pramodern pada prinsipnya tak pernah menolak sains (sebab atas dasar modernitas, barulah sains cukup dasyat untuk membunuh Tuhan). Fakta ilmiah yang paling mendasar pun ditolak, evolusi itupun tak ada, alam semesta tercipta enam hari, carbon-dating itu tipuan, dan lain-lain. Ini adalah reaksi panik, atau justru kekanak-kanakan, terhadap proyek modernitas membunuh agama. Dan dalam hal ini, bisa disamakan dengan upaya reaktif kaum fundamentalis lain yang berupaya dengan segala cara untuk memperlihatkan kalau agama bisa menghasilkan fakta ilmiah yang sama akuratnya seperti sains. Ini adalah satu bentuk terselubung relasi konflik sains-agama juga, yang agak malu-malu kucing. Disini, dakwaan bahwa agama adalah halunisasi bawaan masa kanak-kanak ada benarnya, kebanyakan fundamentalis memang adalah mereka yang menolak untuk tumbuh dewasa secara koknitif.
COMMENT…
·         Peradaban barat modern yang sekarang ini  yang berkembang  secara tegas menolak keberadaan struktur hierarkis yaitu struktur kekerabatan itu sendiri.
·         Suatu konsep hirarkis ini atau sistem kekerabatan ini tdi zaman peradaban modern ini tidak terjamah atau tidak cukup disorot oleh banyak  orang bahkan dalam hal keberagamannya sehari-hari . dan faktor utama yang menjadi penyebab tidak terjamahnya faktor hierarkis ini banyak dari kalangan yang menyebutkan bawa ketidak tahuan manusia akan cara dan rasanya hidup dialam semesta yang hierarkis.
·         Dan sekarang yang berkmbang di masyarakat itu sendiri terkesan sesuatu konsep modernitas itu menrusak tatanan keharmonisan pramodern. Dan tanggapan ini tak lantas salah dan itu dibuktikan sendiri dengan adanya pada peradaban pramodern itu banyak mengajarkan moral tentang keadilan, kebebasan dan lain-lain. Tetapi banyak dari mereka juga merasa bahwa zaman moderanitas itu juga mengajarkan hal yang sama dengan zamn pramodern yaitu tentang keadilan, kebebasan dan lain-lain. Tetapi pada dasrnya ajaran yang diajarkan pada waktu zaman modern moralitas sudah diabaikan.
·         Apakah yang dimaksud pra modernitas (habitat asli agama) dan modernitas (habitat asli sains) itu sendiri dan apakah ada perbedaan atau kesamaan jika ada perbedaan dari pengertian tersebut apa yang membedakannya dan jika ada kesamaan dari pengertian tersebut faktor apa yang mempunyai arti kesamaan antara modernitas dan pramodernitas itu sendiri?
·         Banyak kritik dan penyesalan dari agama-agama, terutama dari islam itu sendiri yang menyesalkan atas runtuhnya suatu struktur hierarkis ini sendiri. Dan mereka mengaggap bahwa penyebab dari keruntuhan yang ada pada struktur hiererkis ini  adalah koresterol yang jahat yang inheren dalam moderanitas.
Terkesan  modernitas merusak tatanan pramodern. Dan kesan ini pun telah dibuktikan bahwa dari banyak dari modernitas telah banyak berpengaruh bagi pra modernitas.namun kita tahu bahwa modernitas mempunyai banyak keuntungan atau hal-hal yang positiveyang tak dijumpai pada era pra modern seperti persamaan hak dan kewajiban bagi manusia, tanpa mempersoalkan ras, kelas, gender, dan lain-lain. Dan inilah kelebihan dari zaman modern yang menguntungkan bagi kelangsungan hidup manusia secara langsung dan tidak langsung. Beberapa pihak yang tidak setuju akan hal ini bahwa Dan dari sinilah zaman modern bukan hanya yang negative saja yang ada, tetapi banyak positivenya yang bisa menguntungkan banyak manusia. Sekarang yang dibahas adalah bagaimana   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar